Total Tayangan Halaman

Rudi Hartono. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TETANUS

A. KONSEP DASAR I. Pengertian Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka. II. Etiologi Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. III. patofisiologi Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berploriferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain : a. luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau, cangkul dan lain-lain. b. Luka karena kecelakaan kerja (kena parang0, kecelakaan lalu lintas. c. Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil. Cara kerja toksin Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik. IV. Faktor predisposisi a. Umur tua atau anak-anak b. Luka yang dalam dan kotor c. Belum terimunisasi V. Tanda dan gejala a. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari b. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak) c. Kesukaran membuka mulut (trismus) d. Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang e. Saat kejang tonik tampak risus sardonikus VII. Gambaran umum yang khas pada tetanus a. Badan kaku dengan epistotonus b. Tungkai dalam ekstensi c. Lengan kaku dan tangan mengepal d. Biasanya keasadaran tetap baik e. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena : 1. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan 2. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan. VIII. Prognosa Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala. IX. Pemeriksaan diagnostik a. Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot rahang. b. Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit c. Pemeriksaan Ecg dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler x. Penatalaksanaan a. Umum Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan : 1. Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka 9tidak boleh diberikan IV) 2. Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam. 3. Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa. 4. Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung. 5. Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang. 6. Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi0 dapat diganti dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif. 7. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. 8. Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral 9. Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien. 10. Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine. 11. Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot dan ambulasi selama penyembuhan. b. Pembedahan 1. Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas. 2. Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi. B. ASUHAN KEPERWATAN II. Pengkajian 1. Pengkajian Umum a. Riwayat penyakit sekarang; adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat. b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak. e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria) f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus. g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum. 2. Setelah dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah keperawtan atau amasalah kolaboratif. a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan. b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan. c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah e. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara f. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang g. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria h. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang i. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi. j. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang III. Rencana Keperawatan a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik) Tujuan : Jalan nafas efektif Kriteria : - Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada - Pernafasan 16-18 kali/menit - Tidak ada pernafasan cuping hidung - Tidak ada tambahan otot pernafasan - Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg) Intervensi dan Rasional 1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas. 2. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas. 3. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi. 4. Oksigenasi R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia. 5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama. 6. Observasi timbulnya gagal nafas. R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation). 7. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik) R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan. b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk. Tujuan : Pola nafas teratur dan normal Kriteria : - Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen - Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit - Tidak sianosis. Intervensi dan raasional. 1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas. 2. Atur posisi luruskan jalan nafas. R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar. 3. Observasi tanda dan gejala sianosis R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer . 4. Oksigenasi R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia. 5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama. 6. Observasi timbulnya gagal nafas. R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation). 7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah. R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3 Tujuan Suhu tubuh normal Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3 1. Atur suhu lingkungan yang nyaman R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi. 2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution. 3. Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequat R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam. 4. Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka. R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka. 5. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang. R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi. 6. Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik. R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas. 7. Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit. R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan. d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%. Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi. Kriteria : - BB optimal - Intake adekuat - Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg % Intervensi dan rasional 1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit. 2. Kolaboratif : a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar. R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah. b. Pemberian carian per IV line R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi. c. Pemasangan NGT bila perlu R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat. DAFTAR PUSTAKA Soeparman; 1990; Ilmu Penyakit Dalam; Universitas Indonesia Press; Jakarta Deanna etc.: 1991; Infectious Diseases; St. Louis Mosby Year Book. Theodore R.; 1993; Ilmu Bedah; EGC; Jakarta Marlyn Doengoes; 1993; Nursing Care Plan; Edisi III, Philadelpia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN TUMOR / KANKER PARU

I. KONSEP DASAR Pada umumnya tumor paru terbagi atas tumor jinak (5 %) antara lain adenoma, hamartoma dan tumor ganas (90%) adalah karsinoma bronkogenik. Karena pertimbangan klinis maka yang dibahas adalah kanker paru atau karsinoma bronkogenik. I. Pengertian Menurut Hood Alsagaff, dkk. 1993, karsinoma bronkogenik adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas. Sedangkan menurut Susan Wilson dan June Thompson, 1990, kanker paru adalah suatu pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel anaplastik dalam paru. II. Etiologi Seperti kanker pada umumnya, etiologi yang pasti dari kanker paru masih belum diketahui, namun diperkirakan bahwa inhalasi jangka panjang dari bahan – bahan karsiogenik merupakan faktor utama, tanpa mengesampingkan kemungkinan perana predisposisi hubungan keluarga ataupun suku bangsa atau ras serta status imunologis. 1. Pengaruh rokok. 2. Pengaruh paparan industri 3. Pengaruh adanya penyakit lain atau predisposisi oleh karena adanya penyakit lain. 4. Pengaruh genetik dan status imunologis. III. Patofisiologi. Kanker paru bervariasi sesuai tipe sel, daerah asal, dan kecepatan pertumbuhan. Empat tipe sel primer pada kanker paru adalah karsinoma epidermoid (sel skuamosa), karsinoma sel kecil (sel oat), karsinoma sel besar (tak terdeferensiasi) dan adenokarsinoma. Sel skuamosa dan karsinoma sel kecil umumnya terbentuk di jalan napas utama bronkial. Karsinoma sel besar dan adenokarsinoma umumnya tumbuh di cabang bronkus perifer dan alveoli. Karsinoma sel besar dan karsinoma sel oat tumbuh sangat cepat sehingga mempunyai prognosis buruk. Sedangkan pada sel skuamosa dan adenokarsinoma prognosis baik karena sel ini pertumbuhan lambat. IV. Gejala klinis Pada waktu masih dini gejala sangat tidak jelas utama seperti batuk lama dan infeksi saluran pernapasan. Oleh karena itu pada pasien dengan batuk lama 2 minggu sampai 1 bulan harus dibuatkan foto X dengan gejala lain dyspnea, hemoptoe, febris, berat badan menurun dan anemia. Pada keadaan yang sudah berlanjut akan ada gejala ekstrapulmoner seperti nyeri tulang, stagnasi (vena cava superior syndroma). Rata – rata lama hidup pasien dengan kanker paru mulai dari diagnosis awal 2 – 5 tahun. Alasannya adalah pada saat kanker paru terdiagnosa, sudah metastase ke daerah limfatik dan lainnya. Pada pasien lansia dan pasien dengan kondisi penyakit lain, lama hidup mungkin lebih pendek. V. Klasifikasi/Pentahapan Klinik (Clinical staging) Klasifikasi berdasarkan TNM : tumor, nodul dan metastase. 1. T : T0 : tidak tampak tumor primer T1 : diameter tumor <> 3 cm, dapat disertai atelektasis atau pneumonitis, namun berjarak lebih dari 2 cm dari karina, serta belum ada efusi pleura. T3 : tumor ukuran besar dengan tanda invasi ke sekitar atau sudah dekat karina dan atau disetai efusi pleura. 2. N : N0 : tidak didapatkan penjalaran ke kelenjar limfe regional N1 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe hilus ipsilateral N2 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe mediastinum atau kontralateral N3 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe ekstratorakal 3. M : M0 : tidak terdapat metastase jauh M1 : sudah terdapat metastase jauh ke organ – organ lain. VI. Studi Diagnostik 1. Chest x – ray ( pandangan lateral dan poteroanterior), tomografi dada dan CT scanning. 2. Radioisotop scanning 3. Tes laboratorium a. Pengumpulan sputum untu sitologi, bronkoskopi dengan biopsi, hapusan dan perkutaneus biopsi b. Mediastinoskopi VII. Manajemen medis 1. Manajemen umum : terapi radiasi 2. Pembedahan : Lobektomi, pneumonektomi, dan reseksi. 3. Terapi obat : kemoterapi ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN KANKER PARU I. Pengkajian a. Riwayat : Perokok berat dan kronis, terpajan terhadpa lingkungan karsinogen, penyakit paru kronis sebelumnya yang telah mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan fibrosis pada jaringan paru. b. Pemeriksaan fisik pada pernapasan Batuk menetap akibat sekresi cairan, mengi, dyspnea, hemoptisis karena erosi kapiler di jalan napas, sputum meningkat dengan bau tak sedap akibat akumulasi sel yang nekrosis di daerah obstruksi akibat tumor, infeksi saluran pernapasan berulang, nyeri dada karena penekanan saraf pleural oleh tumor, efusi pleura bila tumor mengganggu dinding par, disfagia, edema daerah muka, leher dan lengan. c. Nutrisi : Kelemahan, berat badan menurun dan anoreksia d. Psikososial : Takut, cemas, tanda –tanda kehilangan. e. Tanda vital Penngkatan suhu tubuh, takipnea f. Pemeriksaan diagnostik. II. Diagnosa keperawatan 1. Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi bronkial sekunder karena invasi tumor. 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan saraf oleh tumor paru. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan dan dyspnea 4. Aktivitas intolerans berhubungan dengan kelemahan secara umum. III. Rencana Asuhan Keperawatan No Diagnosa Keperawatan P e r e n c a n a a n Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional 1. Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi bronkial sekunder karena invasi tumor. Bersihan jalan napas akan paten dengan kriteria batuk hilang, suara napas bersih, x –ray bersih. 1. Auskultasi paru akan ronkii, rales atau mengi. 2. Monotr ABGs 3. Monitor hasil sputum sitologi 4. Beri posisi optimal kepala tempat tidru ditinggikan. 5. Atur humifier oksigen 6. bantu pasien dengan ambulasi atau ubah posisi 7. anjurkan intake 1,5 – 2 L/hari kecuali kontraindikasi 8. Bantu pasien yang batuk Lihat adekuatnya pertukaran gas dan luasnya obstruksi jalan napas karena skeret. Melihat keseimbangan asam dan basa dan kebutuhan untuk terapi oksigen Melihat adanya sel kanker Sekret bergerak sesuai gravitasi sesuai perubaha posisi. Meninggikan kepala tempat tidur memungkinkan diafragma untuk brkontraksi Mensuplay oksigen dan mengurangi kerja pernapasan Sekret bergerak sesuai perubahan tubuh terhadap gravitasi Mengencerkan sekret Batuk mengeluarkan sekret yang menunmpuk 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan saraf oleh tumor paru. Mendemonstrasik an bebas nyeri dengan kriteria ekspresi wajah rileks, pengembangan paru optimal, menyatakan nyeri hilang 1. Beri analgesik dan evaluasi keefektifannya 2. Untuk meminimalkan nyeri dada pleural : anjurkan untuk menahan dada dengan kedua tangan atau dengan bantal saat batuk, dorong pasien untuk berhenti merokok, dan berikan pelembab udara sesuai order dan obat antitusif 3. Untuk meminimalkan nyeri tulang : mmembalik hati - hati dan berikan dukungan, hindari menarik ekstremitas, berikan matras yang lembut, ubah posisi tiap 2 jam. Rasa nyaman merupakan prioritas dalam pemberian perawatan pasien demgam tumor. Kontrol rasa nyeri butuh narkotik dosis tinggi. Napas dalam dan batuk kuat meregangkan membran pleura dan menimbulkan nyeri dada pleuritik. Nikotin dari tembakau bisa menyebabkan konstriksi bronkial dan menuruhkan gerakan silia yang melapisi saluran pernapasan. Anti batuk menekan pusat batuk di otak Metastase ke tulang menyebabkan nyeri hebat. Pada banyak pasien bahkan sentuhan ringan dapat menimbjlkan rasa nyeri. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan dan dyspnea Status nutrisi ditingkatkan dengan kriteria BB bertambah, makan sesuai diet seimbanmg, albumin, limfosit normal, lingkar lengan normal 1. Kaji diet harian dan kebutuhannya 2. Timbang BB tiap minggu 3. Kaji faktor psikologi 4. Moniitor albumin dan limfosit 5. Beri oksigen selama makan sesuai keperluan 6. Anjurkan oral care sebelum makan 7. Atur anti emetik sebelum makan 8. Berikan diet TKTP 9. Atur pemberian vitamin sesuai order Bantu menentukan diet individu Sesuai penngkatan nutrisi. Mengidentifikasi efek psikologis yang mempengaruhi menurunnya makan dan minum Indikasi adekuatnya protein untuk sistem imun Mengurangi dyspnea denan mengurangi kerja paru Menghilangkan rasa sputum yang bisa mengurangi napsu makan pasien Mengurangi mual yang bisa mempengaruhi napsu makan Mendukung sistem imun Sebagai diet suplemen atau tambahan 4. Aktivitas intolerans berhubungan dengan kelemahan secara umum. Pasien mampu melakukan akvitas tanpa keleahan atau dyspnea dengan kriteria hasil mampu melakukan aktivitas hariannya. 1. Observasi respon terhadap aktivitas 2. Identifikasi faktor yang mempengaruhi intolerans seperti stres, efek samping obat 3. rencanakan periode istirahat di antara waktu bekerja 4. anjurkan untuk lakukan aktivitas sesuai kemampuan pasien 5. berikan program latihan aktivitas sesuai toleransi 6. Rencanakan bersama keluarga mengurangi energi yang berlebihan saat melakukan aktivitas harian Melihat kemapuan beraktivitas Intevensi dilaksanakan sesuai faktor yang mempengaruhi Mengurangi kelelahan melalui isitirahat yang cukup Menemukan pasien kebutuhannya ttanpa menyebabkan kelelahan Meningkatkan independensi pasien sendiri Identifikasi menyimpan energi . DAFTAR PUSTAKA Phipps, Wilma. et al, (1991), Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto Doengoes, Marilynn, dkk, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta Engram, Barbara, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa Suharyati S, volume 1, EGC, Jakarta Tucker, Martin dkk, (1999), Standar Perawatan Pasient,alih bahasa Yasmin Aih dkk, volume 4, edisi V, EGC, Jakarta Alsagaff, Hood, dkk. (1993), Pengantar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya. Lab/UPF Ilmu Penyakit Paru, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dokter Soetomo, Surabaya Wilson, Susan and Thompson, June (1990), Respiratory Disorders, Mosby Year Book, Toronto.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asuhan Keperawatan DHF

A. Pengertian Menurut Suriadi dan Rita Yuliani (2001), demam berdarah dengue ialah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbo virus) yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Menurut hidayat (2006), demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh karena virus dengue yang termasuk golongan arbo virus melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Menurut Ngastiyah (2005), demam berdarah dengue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbo virus, ditularkan melalui gigitan nyamuk yang ditandai oleh demam mendadak tanpa sebab disertai gejala lain seperti lemah dan terdapat manifestasi perdarahan. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbo virus), masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan manifestasi perdarahan. B. Patofisiologi Menurut Hidayat (2006), Suriadi dan Rita Yuliani (2001), virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti, dan tubuh berespon terhadap infeksi virus yaitu demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, mual, pembesaran kelenjar getah bening. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila sesorang mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue namun dengan serotipe yang berbeda. Adapun tipe serotipe dengue tersebut yaitu DEN-1, DEN-2, DE N-3 dan DEN-4 infeksi oleh salah satu jenis serotipe tersebut akan memberikan kekebalan seumur hidup, tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain. Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh kemudian akan bereaksi dengan anti bodi dan terbentuk kompleks antibodi, dalam sirkulasi akan mengaktifasi sistem komplemen. Akibat aktifasi C3 da n C5, akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningginya permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran plasma. Selain itu, akibat dari infeksi virus dengue, terjadi depresi sum-sum tulang yang mengakibatkan turunnya trombosit, hemoglobin, leukosit. Terjadinya trombositopenia merupakan faktor terjadinya perdarahan. Adapun manifestasi dari perdarahan tersebut yaitu berupa petekhie, ekimosis, episteksis, perdarahan gusi sampai perdarahan yang hebat berupa muntah darah akibat perdarahan lambung, melena dan juga hematuriamasif. Selain perdarahan juga terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi makin lemah, ujung-ujung jari, telinga dan hidung terasa dingin dan lembab. Denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang. Jika keadaan tersebut tidak teratasi dengan baik dapat menyebabkan anoksia jaringan, asidosis metabolik, syok hipovolemik Dengue Syok Syndrome (DSS) dan kematian. Menurut WHO, Demam berdarah dengue dikelompokkan menjadi 4 tingkatan sebagai berikut : 1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas, hanya terdapat manifestsi perdarahan (uji turniquet positif). 2. Derajat II : seperti derajat I disertai perdarahan spontan dikulit dan diperdarahan lain. 3. Derajat III : ditemukan kegagalan sirkulasi darah dengan adanya nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (kurang dari 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin dan lembab, gelisah. 4. Derajat IV : renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur. C. Penatalaksanaan Penatalaksanaan menurut Ngastiyah (2005), Suriadi dan Rita Yuliani (2001) 1. Penatalaksanaan medik Pada dasarnya pengobatan pasien bemam berdarah dengue bersifat simtomatis. Adapun penatalaksanaan tersebut meliputi : a. Pemberian anti-piretik pada keadaan hiper pireksia b. Pemberian luminal jika terjadi kejang-kejang c. Pemberian cairan intravena d. Pemeriksaan hematokrit, hemo globin dan trombosit setiap hari e. Pemberian transfusi darah atau trombosit pada perdarahan gastro intestinal yang hebat. 2. Penatalaksanaan Keperawatan a. Tirah baring b. Diet makanan lunak c. Memberikan minum yang banyak, dianjurkan 1,5-2 liter dalam 24 jam d. Pemantauan tanda-tanda vital e. Pemantauan intake dan output cairan f. Pemantauan perdarahan D. Konsep Tumbuh Kembang, Bermain, Nutrisi dan Dampak Hospitalisasi pada anak yang berumur 3-6 tahun. Dibawah ini akan diuraikan mengenai konsep tumbuh kembang, bermain, nutrisi dan dampak hospitalisasi pada anak yang berumur 3-6 tahun. 1. Pertumbuhan. Menurut Whalley dan Wong (2000), mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu peningkatan jumlah dan ukuran, hal ini merupakan suatu proses yang alamiah yang terjadi pada setiap individu. Sedangkan Marlow (1998) mengemukakan pertumbuhan sebagai suatu peningkatan ukuran tubuh yang dapat diukur dengan meter atau sentimeter untuk tinggi badan dan kilogram atau gram untuk berat badan. Pada anak usia 3-6 tahun pertumbuhan fisik khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-rata per tahunnya adalah 2 Kg, kelihatan kurus akan tetapi aktifitas motorik tinggi, dimana sistem tubuh mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, dan lain-lain. Pada pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan anak akan bertambah rata-rata 6,75 sampai 7,5 cm setiap tahunnya (Hidayat, 2006). 2. Perkembangan Perkembangan menitikberatkan pada perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan kompleks yang melalui maturasi dan pembelajaran. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak diantaranya faktor herediter, faktor lingkungan, dan faktor internal. Perkembangan psikoseksual anak pada fase falik (3-6 tahun), genitalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin, seringkali anak merasa penasaran dengan pertanyaan yang diajukannya. Dengan perbedaan ini anak sering meniru ibu atau bapaknya untuk memahami identitas gender (Freud). Pada masa ini anak mengalami proses perubahan dalam pola makan dimana anak pada umumnya mengalami kesulitan untuk makan. Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian dan masa ini adalah masa dimana perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan dan anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah yang terlihat sekali kemampuan anak belum mampu menilai sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat dan anak membutuhkan pengalaman belajar dengan lingkungan dan orang tuanya (Hidayat, 2006). 3. Nutrisi Nutrisi sangat penting untuk tumbuh dan berkembang. Anak membutuhkan zat gizi yang esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air yang harus dikonsumsi secara seimbang, dengan jumlah yang sesuai kebutuhan pada tahapan usianya. Kebutuhan cairan pada anak usia 3-6 tahun yaitu 1600-1800cc/24 jam (Hidayat, 2006). Kebutuhan kalorinya adalah 85 kkal/kg BB. Pada masa prasekolah kemampuan kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi sudah mulai muncul, sehingga segala peralatan yang berhubungan dengan makanan seperti garpu, piring, sendok dan gelas semuanya harus dijelaskan pada anak atau diperkenalkan dan dilatih dalam penggunaannya, sehingga dapat mengikuti aturan yang ada. Dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia ini sebaiknya penyediaan bervariasi menunya untuk mencegah kebosanan, berikan susu dan makanan yang dianjurkan antara lain daging, sup, sayuran dan buah-buahan. 4. Bermain Bermain merupakan suatu aktifitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku dewasa. Pada usia 3-6 tahun anak sudah mulai mampu mengembangkan kreatifitas dan sosialisasi sehingga sangat diperlukan permainan yang dapat mengembangakan kemampuan menyamakan dan membedakan, kemampuan berbahasa, mengembangkan kecerdasan, menumbuhkan sportifitas, mengembangkan koordinasi motorik, mengembangkan dalam mengontrol emosi, motorik kasar dan halus, memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan dan memperkenalkan suasana kompetisi serta gotong royong. Sehingga jenis permainan yang dapat digunakan pada anak usia ini seperti benda-benda sekitar rumah, buku gambar, majalah anak-anak, alat-alat gambar, kertas untuk belajar melipat, gunting dan air. 5. Dampak Hospitalisasi Hospitalisasi merupakan suatu poroses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya sampai kembali kerumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stres. Perawatan anak dirumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakan amat, penuh kasih sayang, dan menanyakan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan dirumah sakit juga membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya, anak merasa kehilangan kekuatan diri, malu, bersalah, atau takut.anak akan bereaksi agresif dengan marah dan berontak, tidak mau bekerjasama dengan perawat. E. Pengkajian Pengkajian keperawatan pada klien dengan DHF menurut Christantie (1995) adalah sebagai berikut : 1. Data subyektif ; data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan yang dinyatakan klien : menyatakan adanya lemah, panas atau demam, sakit kepala, mual, anoreksia, haus, sakit saat menelan, nyeri ulu hati, nyeri pada otot dan sendi. 2. Data obyektif ; data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi klien. Pada klien didapt suhu badan tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan, mukosa mulut kering, perdarahan gusi, tampak bintik merah pada kulit (ptekhie), uji tornikuet positif, epistaksis, hematemesis, melena, nyeri tekan pada epigastrik. Pada palpasi terdapat pembesaran hati dan limpa, pada renjatan (derajat IV) terdapat nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, pernafasan dangkal. 3. Pemeriksaan diagnostik a. Hb dan Ht meningkat b. Trombositopenia <100.00/uL c. Leukopenia (mungkin normal/leukositosis) d. Ig.6 positif e. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hipouremia dan hiponatremia f. Ureum dan pH darah mungkin meningkat g. Analisa gas darah ; asidosis metabolik, PC02 <35-40mmHg dan HCO3 rendh. h. SGOT dan SGPT mungkin meningkat i. Rongent thorax : effusi pleura j. Serologi : uji HI (Hemoglutination Inhibitioan Test) k. USG : hepatomegali dan splenomegali F. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan yang muncul pada klien dengan DHF menurut Suriadi dan Rita Yuliani (2001), Hidayat (2006) : 1. Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam. 3. Risiko terjadi komplikasi (syok hipovolemik atau perdarahan). 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak nafsu makan. 5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak. 6. Kurang pengetahuan pada orang tua mengenai proses penyakit. G. Perencanaan Perencanaan pada klien dengan DHF menurut Suriadi dan Rita Yuliani (2001), Hidayat (2006), Ngastiah (2005) adalah sebagai berikut: 1. Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus. Tujuan: Mempertahankan suhu tubuh normal Kriteria hasil: Anak menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal Rencana tindakan: a. Monitor peribahan suhu tubuh, nadi, pernapasan serta tekanan darah. b. Gunakan pakaian yang tipis untuk membantu penguapan. c. Berikan antipiretik dan antibiotik sesuai dengan ketentuan. d. Libatkan keluarga dan ajarilah cara melakukan kompres yang benar serta evaluasi perubahan suhu. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam. Tujuan: Mencegah terjadinya kekurangan volume cairan. Kriteria hasil: Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan cairan. Rencana tindakan: a. Mengobservasi tanda-tanda vital paling sedikit tiap empat jam. b. Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan : turgor tidak elastis, ubun-ubun cekung, produksi urine menurun. c. Mengobservasi dan mencatat intake dan output. d. Memberikan hidrasi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh. e. Memonitor nilai laboratorium: elektrolit darah, BJ urine, serum albumin. f. Mempertahankan intake dan output yang adekuat. g. Memonitor dan mencatat berat badan. h. Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam. i. Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (insensible water loss/IWL) 3. Risiko terjadi komplikasi (syok hipovolemik atau perdarahan). Tujuan: Mencegah terjadinya perdarahan. Kriteria hasil: Peningkatan trombosit, tidak terjadi perdarahan terutama saluran cerna. Rencana tindakan: a. Monitor penurunan jumlah trombosit, hemoglobin, dan hematokrit. b. Anjurkan anak untuk istirahat c. Gunakan sikat gig lunak, pelihara kebersihan mulut. d. Monitor tanda-tanda adanya perdarahan e. Apabila terjadi perdarahan, kolaborasi dalam pemberian obat dan transfusi. f. Berikan antibiotik sesuai dengan keperluan. g. Pertahankan kebutuhan cairan tubuh. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak nafsu makan. Tujuan: kebutuhan nutrisi adekuat. Kriteria hasil: Anak menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang adekuat. Rencana tindakan: a. Monitor adanya perubahan berat badan, mual, muntah. b. Berikan makanan yang mudah dicerna seperti bubur dan hidangkan dalam keadaan hangat. c. Berikan porsi makan sedikit tapi sering hingga terpenuhi jumlah asupan makanan dalam tubuh. d. Berikan obat antiemesis sesuai dengan program/ketentuan bila perlu. e. Berikan alternatif nutrisi yang dapat meningkatkan kadar trombosit 5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi anak. Tujuan: Support koping keluarga adaptif. Kriteria hasil: keluarga menunjukkan koping yang adaptif. Rencana tindakan: a. Mengkaji perasaan dan persepsi orang tuaterhadap situasi yang penuh stres. b. Ijinkan orang tua dan keluarga untuk memberikan respon secara panjang-lebar dan identifikasi faktor yang paling mencemaskan keluarga. c. Identifikasi koping yang biasa digiunakandan seberapa besar keberhasilannya dalam mengatasi keadaan. d. Tanyakan kepada keluarga apa yang dapat dilakukan untuk membuat anak atau keluarga agar menjadi lebih baik, dan jika memungkinkan memberikan apa yang diminta oleh keluarga e. Memenuhi kebutuhan dasar anak : jika anak sangat tergantung dalam melakukan aktifitas sehari-hari, ijinkan hal ini terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama, kemandirian anak dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. 6. Kurang pengetahuan pada orang tua mengenai proses penyakit Tujuan: Pengetahuan meningkat. Kriteria hasil: Meningkatnya pengetahuan pada pasien atau keluarga tentang DBD Rencana tindakan: Berikan penjelasan tentang penyakit DBD yang biasaya mulai dari demam mendadak dan anak menjadi lemah, mengeluh pusing atau muntah agar segera dibawa berobat ke pelayanan kesehatan/dokter tidak usah menunggu terlihatnya bintik-bintik merah pada kulit (mengenai bintik merah sebagai salah satu gejala DBD sudah banyak yang mengetahiu; karena itu sering para orang tua jika anaknya terlihat ada merah-merah pada kulitnya ketakutan menderita DBD. Padahal merah pada kulit tersebut dapat juga sebagai akibat anak telah beberapa hari tidak dimandikan). Penjelasan lain yang penting ialah jika anak yang sakit demam sebelum dibawa berobat supaya diberi banya minum. Untuk mencegah timbulnya muntah cara memberikan minum harus sedikit demi sedikit. H. Pelaksanaan Pelaksanaan menurut Patricia A. Potter (2005) merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan yang telah disusun/ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal, dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri ataupun perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan yang akan diberikan kepada pasien. Berikut ini metode dan langkah persiapan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat : memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan, menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan, menyiapkan lingkungan terapeutik, membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, memberikan asuhan keperawatan langsung, mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya. Pelaksanaan membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien, menelaah, dan memodifikasi rencana keperawatan yang sudah ada, mengidentifikasi area dimana bantuan dibutuhkan untuk mengimplementasikan, mengkomunikasikan intervensi keperawatan. Pelaksanaan dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan tambahan ketrampilan dan personal. Setelah pelaksanaan tindakan, perawat menuliskan dalam catatan klien deskripsi singkat dari pengkajian keperawatan, prosedur spesifik dan respon klien terhadap asuhan keperawatan atau juga perawat bisa mendelegasikan implementasi pada tenaga kesehatan lain termasuk memastikan bahwa orang yang didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas sesuai dengan standar keperawatan. I. Evaluasi Menurut Patricia A. Potter (2005) evaluasi merupakan proses yang dilakukan untuk menilai pencapaian tujuan atau menilai respon klien terhadap tindakan keperawatan seberapa jauh tujuan keperawatan telah terpenuhi. Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif. Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau jumlah kegiatan keperawatan yang telah ditentukan sedangkan evaluasi kualitatif difokuskan pada masalah satu dari tiga dimensi striktur atau sumber, dimensi proses dan dimensi hasil tindakan yang dilakukan. Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut : mengumpilkan data keperawatan pasien, menafsirkan (menginterpretasikan) perkembangan pasien, membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang berlaku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asuhan Keperawatan CA Mamae (Kanker Payudara)

A. Pengertian Kanker adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel yang sebelumnya adalah sel-sel normal, selama mengalami perubahan neoplastik mereka memperoleh derajat otonomi tertentu. ( Sylvia A Price, 1994 ). Kanker adalah buah dari perubahan sel yang mengalami pertumbuhan tidak normal dan tidak terkontrol. ( www.google.com ) Kanker payudara adalah jenis kanker kedua penyebab kematian karena kanker pada wanita dengan perkiraan 46.000 meninggal. ( Danielle, Gale 2000) Kanker payudara adalah kanker yang relatif sering dijumpai pada wanita di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian utama pada wanita berusia antara 45 sampai 64 tahun. ( Patofisiologi, 2001) Kanker payudara adalah kanker yang paling sering pada perempuan di samping kanker kulit, walaupun kanker ini sangat jarang pada laki-laki ( Sylvia A. Price,dkk 2006) Dari kelima pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kanker payudara adalah kanker yang sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan laki-laki dan merupakan penyebab utama kematian pada wanita berusia antara 45 sampai 64 tahun. B. Patofisiologi Menurut Sylvia A. Price (2006) penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan namun terdapat beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan, keduanya adalah lingkungan dan genetik. Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara adalah tempat tinggal di negara berkembang bagian barat, keadaan sosioekonomi yang rendah, ras, riwayat penyakit payudara proliferatif, awitan dini menarke, terlambatnya kelahiran anak pertama, menopouse yang terlambat, keadaan nulipara, terapi hormon eksogen, terpajan radiasi, dan faktor- faktor makanan (obesitas dan asupan alkohol yang tinggi). Berdasarkan proses jangka panjang terjadinya kanker ada empat fase menurut www.peluang.com bisnis dan wirausaha indonesia pukul 22.21 yaitu : 1. Fase induksi : 15-30 tahun Belum dipastikan penyebab terjadinya kanker, tetapi faktor lingkungan memegang peranan besar dalam terjadinya kanker pada manusia. Kontak dengan karsinogen membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai bisa merubah jaringan displasia menjadi tumor ganas. Hal ini tergantung dari sifat, jumlah, dan konsentrasi zat karsinogen tersebut, tempat yang dikenai karsinogen, lamanya terkena, adanya zat-zat karsinogen atau ko- karsinogen lain, kerentanan jaringan dan individu. 2. Fase in situ : 1-5 tahun Pada fase ini perubahan jaringan muncul menjadi suatu lesi pre- cancerous yang bisa ditemukan di serviks uteri, rongga mulut, paru-paru, saluran cerna, kandung kemih, kulit dan akhirnya ditemukan di payudara. 3. Fase invasi Sel-sel menjadi ganas berkembang biak dan menginfiltrasi melalui membran sel ke jaringan sekitarnya ke pembuluh darah serta limfe. Waktu antara fase ketiga dan keempat berlangsung antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. 4. Fase diseminasi : 1-5 tahun Bila tumor makin membesar, maka kemungkinan penyebaran ke tempat- tempat lain bertambah. Pentahapan patologi didasarkan pada histologi memberikan prognosis yang lebih akurat. Tahap-tahap yang penting menurut Brunner & Suddarth yaitu : Tahap I terdiri atas tumor yang kurang dari 2 cm, tidak mengenai nodus limfe, dan tidak terdeteksi adanya metastasis. Tahap II terdiri atas tumor yang lebih besar dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm dengan nodus limfe tidak terfiksasi negatif atau positif, dan tidak terdeteksi adanya metastasis. Tahap III terdiri atas tumor yang lebih besar dari 5 cm atau tumor dengan sembarang ukuran yang menginvasi kulit atau dinding dengan nodus limfe terfiksasi positif dalam area klavikular, dan tanpa bukti adanya metastasis. Tahap IV terdiri atas tumor dalam sembarang ukuran, dengan nodus limfe normal atau kankerosa, dan adanya metastasis jauh. Tipe kanker payudara menurut Brunner & Suddarth antara lain : 1. Karsinoma duktal menginfiltrasi adalah tipe histologis yang paling umum, merupakan 75% dari semua jenis kanker payudara. Kanker ini bila dipalpasi terasa keras. Kanker jenis ini biasanya bermetastasis ke nodus aksila. Prognosisnya lebih buruk dibanding dengan kanker lainnya. 2. Karsinoma lobular menginfiltrasi jarang terjadi, merupakan 5%-10% kanker payudara. Tumor ini terjadi pada area penebalan yang tidak baik pada payudara bila dibanding tipe duktal menginfiltrasi. Karsinoma duktal menginfiltrasi dan lobular menginfiltrasi mempunyai keterlibatan nodus aksilar yang serupa meskipun tempat metastasisnya berbeda. Karsinoma duktal biasanya menyebar ke tulang, paru, hepar atau otak, sedangkan karsinoma lobular biasanya bermetastasis ke permukaan meningeal. 3. Karsinoma medular tumbuh dalam kapsul di dalam duktus. Tipe tumor ini dapat menjadi besar tetapi meluas dengan lambat. 4. Kanker musinus, penghasil lendir dan tumbuh dengan lambat. 5. Kanker duktal-tubular jarang terjadi, karena metastasis aksilaris secara histologi tidak lazim. 6. Karsinoma inflamatori adalah tipe kanker payudara yang jarang. Tumor setempat ini nyeri tekan dan sangat nyeri, payudara secara abnormal keras dan membesar. Kulit di atas tumor ini merah dan agak hitam. Sering terjadi Edema dan retraksi puting susu. Tanda dan gejala yang paling umum adalah benjolan atau penebalan pada payudara. Gejala lain dari kanker payudara meliputi kulit cekung ( lesung ), retraksi atau deviasi puting susu, dan nyeri tekan, atau rabas khususnya berdarah dari puting. Kulit Peau d’orange, kulit tebal dengan pori-pori menonjol sama dengan kulit jeruk, dan ulserasi pada payudara. Jika ada nodul, mungkin menjadi keras, pembesaran nodus limfe aksilaris membesar atau nodus supra klavikula teraba pada daerah leher. Tanda dan gejala dari metastasis yang luas meliputi nyeri pada bahu, pinggang, punggung bagian bawah atau pelvis, batuk menetap, anoreksia atau berat badan menurun, gangguan pencernaan, pusing, penglihatan kabur, dan sakit kepala. Komplikasi utama dari kanker payudara menurut Danielle Gale dan Jane Charette adalah metastase jaringan sekitarnya dan juga melalui saluran limfe dan pembuluh darah ke organ-organ lain. Tempat yang sering untuk metastase jauh adalah paru-paru, pleura, tulang dan hati. Metastase ke tulang kemungkinan mengakibatkan fraktur patologis, nyeri kronik dan hiperkalsemia. Metastase ke paru-paru akan mengalami gangguan ventilasi pada paru-paru dan metastase ke otak mengalami gangguan persepsi sensorik. Untuk deteksi dini kanker payudara bisa dilakukan beberapa cara antara lain pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) sejak usia 20 tahun, dilakukan selama sebulan sekali sesudah haid, pemeriksaan berkala oleh dokter setiap 2-3 tahun pada usia 20-40 tahun. Mamografi 1-2 kali pada usia 35 hingga 49 tahun. Adapun langkah-langkah SADARI untuk memudahkan mengetahui ada tidaknya kanker di payudara terlampir. C. Penatalaksanaan 1. Medis Pembedahan, dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: a. Mastektomi total (sederhana), yaitu mengangkat semua jaringan payudara, tetapi semua atau kebanyakan nodus limfe dan otot dada tetap utuh. b. Mastektomi radikal modifkasi mengangkat seluruh payudara, beberapa atau semua nodus limfe dan kadang-kadang otot pektoralis minor prosedur membatasi (contoh lumpektomi) mungkin dilakukan pada pasien rawat jalan yang hanya berupa tumor dan beberapa jaringan sekitarnya diangkat. c.Mastektomi/lumpektomi dengan diseksi kelenjar getah bening aksila radiasi/kemoterapi. d. Terapi radiasi dapat digunakan untuk mengatasi kanker payudara terinflamasi sebelum diberikan kemoterapi. Dapat juga digunakan untuk mengatasi penyakit yang kambuh secara lokal, untuk menangani fungsi ovarium, dan untuk mengatasi gejala dari metastase penyakit. e. Kemoterapi, kemoterapi ajufan untuk kanker payudara melibatkan kombinasi obat multiple yang lebih efektif daripada terapi dosis tunggal. Kombinasi yang paling sering dianjurkan disebut CMF dan meliputi siklofosfamid (Cytoxan), metotrexat, fluorasil (5-FU) dengan atau tanpa tamoksifen. 2. Keperawatan Rencana keperawatan menurut Marilynn E. Doengoes yaitu membantu pasien/orang terdekat menerima stress situasi/prognosis, mencegah komplikasi, membuat program rehabilitasi individual, memberikan informasi tentang penyakit, prosedur, prognosis dan kebutuhan pengobatan. D. Pengkajian Pengkajian pada klien dengan kanker payudara menurut Doenges, Marilynn E (2000) diperoleh data sebagai berikut: 1. Aktifitas/istirahat: Gejala: kerja, aktifitas yang melibatkan banyak gerakan tangan/ pengulangan, pola tidur (contoh, tidur tengkurap). 2. Sirkulasi Tanda: kongestif unilateral pada lengan yang terkena (sistem limfe). 3. Makanan/cairan Gejala: kehilangan nafsu makan, adanya penurunan berat badan. 4. Integritas Ego Gejala: stresor konstan dalam pekerjaan/pola di rumah. Stres/takut tentang diagnosa, prognosis, harapan yang akan datang. 5. Nyeri/kenyamanan Gejala: nyeri pada penyakit yang luas/metastatik (nyeri lokal jarang terjadi pada keganasan dini). Beberapa pengalaman ketidaknyamanan atau perasaan lucu pada jaringan payudara. Payudara berat, nyeri sebelum menstruasi biasanya mengindikasikan penyakit fibrokistik. 6. Keamanan Tanda: massa nodul aksila. Edema, eritema pada kulit sekitar. 7. Seksualitas Gejala: adanya benjolan payudara, perubahan pada ukuran dan kesimetrisan payudara. Perubahan pada warna kulit payudara atau suhu, rabas puting yang tak biasanya, gatal, rasa terbakar atau puting meregang. Riwayat menarke dini (lebih muda dari usia 12 tahun), menopause lambat (setelah 50 tahun), kehamilan pertama lambat (setelah usia 35 tahun). Masalah tentang seksualitas/keintiman. Tanda: perubahan pada kontur/massa payudara, asimetris. Kulit cekung, berkerut, perubahan pada warna/tekstur kulit, pembengkakan, kemerahan atau panas pada payudara. Puting retraksi, rabas dari puting (serosa, serosangiosa, sangiosa, rabas berair meningkatkan kemungkinan kanker, khususnya bila disertai benjolan) 8. Penyuluhan/pembelajaran Gejala: riwayat kanker dalam keluarga (ibu, saudara wanita, bibi dari ibu atau nenek). Kanker unilateral sebelumnya kanker endometrial atau ovarium. Pertimbangan Rencana Pemulangan: DRG menunjukkan rata-rata lama dirawat 4 hari. Membutuhkan bantuan dalam pengobatan/rehabilitasi, keputusan, aktivitas perawatan diri, pemeliharaan rumah. Pemeriksaan Diagnostik a). Mamografi: memperlihatkan struktur internal payudara, dapat untuk mendeteksi kanker yang tak teraba atau tumor yang terjadi pada tahap awal. b). Galaktografi: mamogram dengan kontras dilakukan dengan menginjeksikan zat kontras ke dalam aliran duktus. c). Ultrasound: dapat membantu dalam membedakan antara massa padat dan kista dan pada wanita yang jaringan payudaranya keras, hasil komplemen dari mamografi. d). Xeroradiografi: menyatakan peningkatan sirkulasi sekitar sisi tumor. e). Termografi: mengidentifikasi pertumbuhan cepat tumor sebagai ”titik panas” karena peningkatan suplai darah dan penyesuaian suhu kulit yang lebih tinggi. f). Diafanografi (transimulasi): mengidentifikasi tumor atau massa dengan membedakan bahwa jaringan mentransmisikan dan menyebarkan sinar. Prosedur masih diteliti dan dipertimbangkan kurang akurat daripada mamografi. g). Scan CT dan MRI: teknik scan yang dapat mendeteksi penyakit payudara, khususnya massa yang lebih besar atau tumor kecil, payudara mengeras yang sulit diperiksa dengan mamografi. Teknik ini tidak bisa untuk pemeriksaan rutin dan tidak untuk mamografi. h).Biopsi payudara (jarum atau eksisi): memberikan diagnosa definitif terhadap massa dan berguna untuk klasifikasi histologi pentahapan dan seleksi terapi yang tepat. i). Asai hormon reseptor: menyatakan apakah sel tumor atau spesimen biopsi mengandung reseptor hormon (estrogen dan progresteron). Pada sel malignan, reseptor kompleks estrogen-plus merangsang pertumbuhan dan pembagian sel. Kurang lebih duapertiga semua wanita dengan kanker payudara reseptor estrogennya positif dan cenderung berespon baik terhadap terapi hormon menyertai terapi primer untuk memperluas periode bebas penyakit dan kehidupan. j). Foto dada, pemeriksaan fungsi hati, hitung sel darah dan scan tulang: dilakukan untuk mengkaji adanya metastase. E. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan analisa data menurut Doengoes (2000) dan Brunner & Suddarth (1999), ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut : Pra operasi : Ansietas berhubungan dengan diagnosis kanker, pengobatannya dan prognosis. Pasca operasi : 1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, trauma jaringan, interupsi saraf, diseksi otot. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pengangkatan jaringan, perubahan sirkulasi, adanya edema, perubahan pada elastisitas kulit, sensasi, destruksi jaringan ( radiasi ). 3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan mastektomi dan efek samping radiasi dan kemoterapi. 4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neorumuskular, nyeri, pembentukan edema. 5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan imobilitas parsial lengan atas pada tempat yang dioperasi. 6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai penyakitnya. F. Intervensi Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan perencanaan untuk setiap diagnosa keperawatan menurut Doengoes (2000) dan Brunner dan Suddarth (1999) sebagai berikut : Pra operasi : Ansietas berhubungan dengan diagnosis kanker, pengobatannya dan prognosis. Kriteria evaluasi : menunjukan rentang perasaan yang tepat Intervensi : a. Yakinkan informasi pasien tentang diagnosis, harapan intervensi pembedahan, dan terapi yang akan datang. b. Jelaskan tujuan dan persiapan untuk tes diagnostik. c. Berikan perhatian, keterbukaan dan penerimaan juga privasi orang terdekat. d. Berikan informasi tentang sumber komunitas bila ada. Pasca operasi 1. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, trauma jaringan, interupsi saraf, diseksi otot. Kriteria evaluasi: Tampak rileks, mampu tidur atau istirahat dengan tepat, mengekspresikan penurunan nyeri. Intervensi : a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0-10) b. Diskusikan sensasi masih adanya payudara normal. c. Bantu pasien menemukan posisi nyaman. d. berikan tindakan kenyamanan dasar tehnik relaksasi. e. Sokong dada saat latihan nafas dalam. f. Berikan obat nyeri yang tepat pada jadwal teratur sebelum nyeri berat dan sebelum aktivitas dijadwalkan. g. Berikan analgetik sesuai dengan indikasi. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pengangkatan jaringan, perubahan sirkulasi, adanya edema, perubahan pada elastisitas kulit, sensasi, destruksi jaringan (radiasi). Kriteria evaluasi : Meningkatkan waktu penyembuhan luka, menunjukan prilaku/tehnik untuk meningkatkan penyembuhan/mencegah komplikasi. Intervensi: a. Kaji balutan luka, awasi jumlah edema, kemerahan, dan nyeri pada insisi dan lengan. Awasi suhu. b. Tempatkan pada posisi semi fowler pada punggung atau sisi yang tidak sakit dengan lengan tinggi dan disokong dengan bantal. c. Jangan melakukan pengukuran TD, menginjeksikan obat atau memasukan IV pada lengan yang sakit. d. Dorong untuk menggunakan pakaian yang tidak sempit , beritahu pasien untuk tidak menggunakan jam tangan atau perhiasaan lain pada tangan yang sakit. e. Berikan antibotik sesuai indikasi. 3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan mastektomi dan efek samping radiasi dan kemoterapi. Kriteria evaluasi : menunjukan gerakan ke arah penerimaan diri dalam situasi, pengenalan dan ketidaktepatan perubahan dalam konsep diri tanpa menegatifkan harga diri, menyusun tujuan yang realistik dan secara aktif berpartisipasi dalam program terapi. Intervensi: a. Identifikasi masalah peran sebagai wanita, istri, ibu, wanita karier dan sebagainya. b. Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaan misal marah, bermusuhan dan berduka. c. Diskusikan tanda dan gejala depresi dengan orang terdekat. d. Yakinkan perasaan pasangan sehubungan dengan aspek seksual, dan memberikan informasi dan dukungan. 4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular, nyeri, pembentukan edema. Kriteria evaluasi : Menunjukan keinginan untuk berpartisipasi dalam terapi, menunjukan tehnik yang memampukan melakukan aktivitas, peningkatan kekuatan bagian tubuh yang sakit. Intervensi: a. Tinggikan lengan yang sakit sesuai indikasi. b. Dorong pasien untuk menggunakan lengan untuk kebersihan diri, makan, menyisir rambut, mencuci muka. c. Bantu dalam aktivitas perawatan diri sesuai keperluan. d. Tingkatkan latihan sesuai indikasi, contoh ekstensi aktif lengan dan rotasi bahu saat berbaring di tempat tidur, mengangkat lengan untuk menyentuh ujung jari di belakang kepala. 5. Kurang perwatan diri berhubungan dengan imobilitas parsial lengan atas pada tempat yang dioperasi. Kriteria evaluasi : Menghindari kerusakan mobilitas dan pencapaian perawatan diri hingga tingkat yang paling tinggi. Intervensi : a. Dorong pasien untuk berparstisipasi secara aktif dalam perawatan pasca operasi. b. Dorong agar pasien bersosialisasi, terutama dengan orang- orang yang telah secara berhasil mengatasi keadaan serupa. c. Buat modifikasi progresif dalam program latihan pasien sesuai tingkat kenyamanan dan toleransi. d. Beri pujian pada pasien ketika tampak kreatif atau rapih. 6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakitnya. Kriteria evaluasi : Menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan melakukan prosedur yang perlu dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan, melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi pada program pengobatan.. Intervensi : a. Kaji proses penyakit, prosedur pembedahan, dan harapan yang akan datang. b. Diskusikan perlunya keseimbangan kesehatan, nutrisi, makan dan pemasukan cairan yang adekuat. c. Anjurkan pasien untuk melindungi tangan dan lengan bila berkebun. Anjurkan menggunakan alat waspada medik. d. Tunjukan penggunaan kompres intermiten sesuai kebutuhan. e. Dorong pemeriksaan diri teratur pada payudara yang masih ada. G. Implementasi Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan (Bulechek and Closkey 1985). Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi. Dalam pelaksanaan tindakan langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan. Untuk diagnosa keperawatan ansietas tindakan yang dilakukan yaitu meyakinkan informasi kepada pasien tentang diagnosis, menjelaskan tujuan dan persiapan untuk tes diagnostik. Untuk diagnosa keperawatan nyeri tindakan yang dilakukan yaitu mengkaji keluhan nyeri, membantu pasien menemukan posisi yang nyaman, memberikan obat analgetik sesuai indikasi program dokter. Untuk diagnosa keperawatan kerusakan integritas kulit tindakan yang dilakukan yaitu mengkaji balutan luka, menempatkan pada posisi semi fowler pada punggung atau sisi yang tidak sakit dengan lengan tinggi dan di sokong dengan bantal. Untuk diagnosa keperawatan gangguan citra tubuh tindakan yang dilakukan yaitu mengidentifikasi masalah peran sebagai wanita, istri, ibu, wanita karier, mendorong pasien untuk mengekspresikan perasaannya misal, marah, bermusuhan dan berduka. Untuk diagnosa keperawatan kerusakan mobilitas fisik tindakan yang dilakukan yaitu membantu dalam aktivitas perawatan diri sesuai keperluan, meningkatkan latihan sesuai indikasi, misal ekstensi aktif lengan dan rotasi bahu saat berbaring di tempat tidur. Untuk diagnosa keperawatan kurang perawatan diri tindakan yang dilakukan yaitu mendorong pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam perawatan pasca operasi, memberikan pujian pada pasien ketika tampak kreatif dan rapih. Untuk diagnosa keperawatan kurang pengetahuan tindakan yang dilakukan yaitu mengkaji proses penyakit, prosedur pembedahan dan harapan yang akan datang, mendiskusikan perlunya keseimbangan kesehatan, nutrisi, makan dan pemasukan cairan yang adekuat. H. Evaluasi Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi kembali. Dalam evaluasi prinsip obyektifitas, reliabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan ada dua yaitu evaluasi proses ( formatif ) dan evaluasi hasil ( sumatif ). Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana pencapaian tujuan yang ditetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan. Seorang perawat harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah keperawatan klien yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan tercapai Bila klien menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 2. Tujuan tercapai sebagian Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 3. Tujuan tidak tercapai Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah baru. Untuk evaluasi diagnosa keperawatan ansietas hasil yang diharapkan yaitu menunjukkan rentang perasaan yang tepat. Untuk evaluasi diagnosa keperawatan nyeri hasil yang diharapkan yaitu mengekspresikan penurunan nyeri. Untuk evaluasi diagnosa keperawatan kerusakan integritas kulit hasil yang diharapakan yaitu menunjukkan perilaku/tehnik untuk meningkatkan penyembuhan/mencegah komplikasi. Untuk evaluasi diagnosa keperawatan gangguan citra tubuh hasil yang diharapkan yaitu menunjukkan gerakan ke arah penerimaan diri dalam situasi pengenalan dan ketidaktepatan perubahan dalam konsep diri tanpa menegatifkan harga diri. Untuk diagnosa keperawatan kerusakan mobilitas fisik hasil yang diharapkan yaitu menunjukkan keinginan untuk berpartisipasi dalam terapi, menunjukkan tehnik yang memampukan melakukan aktivitas. Untuk diagnosa keperawatan kurang perawatan diri hasil yang diharapkan yaitu menunjukkan pencapaian perawatan diri hingga tingkat yang paling tinggi. Untuk diagnosa keperawatan kurang pengetahuan hasil yang diharapkan yaitu menunjukkan pemahaman proses penyakit dan pengobatan melakukan prosedur yang perlu dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asuhan Keperawatan Osteomielitis

A. Pengertian Osteomielitis adalah infeksi pada jaringan tulang tulang dan dapat bersifat akut maupun kronis (Price, 2002). Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang yang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi pada jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respon jaringan terhadap infeksi, tingginya tekanan jaringan dan pembekuan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati) (Smeltzer, 2002) Osteomielitis adalah infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal akut atau trauma tulang, biasanya disebabkan oleh E. Coli, Stapilococcus Aurius atau Streptococcus Pyogenes. (Tucker, 1998) Osteomielitis adalah infeksi akut tulang yang dapat terjadi karena penyebaran infeksi dari darah. (Corwin, 1996) Osteomielitis adalah infeksi tulang yang biasanya disebabkan oleh bakteri, tetapi kadang-kadang disebabkan oleh jamur. (http://www.eMedicine.com/osteomielitis.html ) Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa osteomielitis adalah infeksi pada jaringan tulang yang sulit disembuhkan, disebabkan oleh bakteri atau jamur dan bersifat akut ataupun kronis. B. Patofisiologi Menurut Rasjad (1998), Smeltzer (2002) dan Tucker (1998) osteomielitis biasanya disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan mikrorganisme lainnya. Pada anak-anak infeksi tulang seringkali timbul karena adanya penyebaran infeksi dari tempat lain seperti faringitis, otitis media dan impetigo. Bakterinya (Stapilococcus Aureus, Hemofilus Influenza) berpindah melalui aliran darah menuju metafisis tulang didekat lempeng pertumbuhan dimana darah mengalir ke dalam sinusoid. Akibat proses perkembangbiakan bakteri dan nekrosis jaringan, maka tempat peradangan yang terbatas ini akan terasa nyeri dan nyeri tekan. Pada orang dewasa, osteomielitis juga dapat diawali oleh bakteri dalam aliran darah, namun biasanya akibat kontaminasi jaringan saat cedera atau operasi. Awitan osteomielitis setelah pembedahan orthopedi dapat terjadi selama 3 bulan (akut fulminan ; stadium I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi selama 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (Stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan. Osteomielitis dapat juga terjadi akibat isufisiensi vaskuler seperti diabetes melitus, aterosklerosis, alat fiksasi yang terpasang, obesitas, lansia dan status nutrisi yang buruk. Jika infeksi dibawa oleh darah biasanya awitannya mendadak dan akan menimbulkan gejala seperti menggigil, demam tinggi, denyut nadi cepat, malaise dan keengganan menggerakkan anggota badan yang sakit. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan nyeri tekan. Bila osteomielitis terjadi akibat kontaminasi langsung, selain gejala diatas biasanya disertai tanda-tanda cedera dan pembesaran kelenjar getah bening regional. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan septikemia, infeksi yang bersifat metastatik, Artritis supuratif, kontraktur sendi, osteomielitis kronis serta perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis (karsinoma epidermoid, ulkus marjolin). C. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada klien dengan osteomielitis terdiri dari penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan. 1. Penatalaksanaan medis Penatalaksanaan medis osteomielitis menurut Rasjad (1998) dan Tucker (1998) adalah sebagai berikut : a. Pemberian antibiotik yang bertujuan untuk : mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang yang sehat dan mengontrol ekserbasi akut. b. Tindakan operatif dilakukan bila fase ekserbasi akut telah reda setelah pemberian antibiotik yang adekuat. Operasi yang dilakukan bertujuan untuk : mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik, baik jaringan lunak maupun jaringan tulang (sekuestrum) sampai ke jaringan sehat lainnya, yang selanjutnya dilakukan drainase dan irigasi secara kontinue selama beberapa hari, (adakalanya diperlukan penanaman rantai antibiotik di dalam bagian tulang yang terinfeksi) dan sebagai dekompresi pada tulang dan memudahkan antibiotik mencapai sasaran serta mencegah penyebaran osteomielitis lebih lanjut. c. Pemberian cairan parenteral / intravena dan kalau perlu tranfusi darah. d. Pengaturan diet dan aktivitas. 2. Penatalaksanaan keperawatan Menurut Smeltzer (2002) dan Tucker (1998) penatalaksanaan keperawatan pada osteomielitis adalah sebagai berikut : a. Daerah yang terkena harus dimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. b. Dapat dilakukan rendaman salin selama beberapa kali selama 20 menit perhari untuk meningkatkan aliran darah. c. Kompres : hangat, atau selang seling hangat dan dingin. D. Pengkajian Pengkajian pada klien osteomielitis menurut Smeltzer (2002), Rasjad (1998) dan Tucker (1998) meliputi : 1. Kaji terhadap faktor-faktor risiko (misalnya usia lanjut, diabetes, status nutrisi yang buruk) dan cedera sebelumnya, infeksi atau bedah ortopedik. 2. Amati terhadap gerakan yang tampak sangat hati-hati dari area yang terinfeksi dan kelelahan umum akibat infeksi sistemik. 3. Amati terhadap pembengkakan pada area yang sakit, drainase purulen dan peningkatan suhu tubuh. 4. Perhatikan bahwa pasien dengan osteomielitis kronis mungkin hanya mengalami kenaikan suhu minimal, terjadi pada siang atau sore hari. 5. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapati : peningkatan suhu tubuh yang cepat, menggigil, diaporesis, spasme otot di sekitar sendi yang sakit, tachikardi, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung, kelemahan, nyeri dan pembengkakan pada sendi yang terkena meningkat dengan adanya gerakan. 6. Pemeriksaan diagnostik a. Scan tulang dengan menggunakan nukleotida berlabel radioaktif dapat memperlihatkan peradangan di tulang. b. Pemeriksaan darah 1) Sel darah putih meningkat sampai 30.000 /ul disertai peningkatan laju endap darah. 2) Pemeriksaan titer antibodi – anti stapilococcus. 3) Pemeriksaan kultur darah dan pus kultur untuk menentukan jenis bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitifitas untuk menentukan jenis antibiotik yang sesuai, juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit. c. Pemeriksaan feses : dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi yang disebabkan oleh bakteri salmonella dan E. Coli. d. Pemeriksaan biopsi : dilakukan ditempat yang dicurigai. e. Pemeriksaan ultrasound : memperlihatkan adanya efussi pada sendi. f. Pemeriksaan radiologis : pemeriksaan foto polos dalam sepuluh hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah sepuluh hari (2 minggu) berupa refraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang baru di bawah periosteum yang terangkat. E. Diagnosa keperawatan Setelah data dikumpulkan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan. Menurut Tucker (1998) dan Smeltzer (2002), diagnosa keperawatan pada klien dengan osteomielitis adalah sebagai berikut : 1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak sendi. 2. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan kemajuan invasi bakteri. 3. Nyeri berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase. 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan di rumah. F. Perencanaan Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi menurut Tucker (1998) dan Smeltzer (2002) sebagai berikut : 1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan bengkak sendi. Tujuan : Mobilitas fisik membaik Kriteria hasil : a). Penggunaan mobilitas dan persendian membaik. b). Keikutsertaan dalam perawatan diri sendiri meningkat. c). Edema berkurang. Perencanaan : a). Pertahankan tirah baring : tangani ekstremitas yang sakit dengan lembut. b). Imobilisasi sendi / ekstremitas menggunakan gips ; tinggikan untuk mengurangi edema. c). Bantu dan ajarkan latihan ROM pasif atau aktif pada ekstremitas yang sakit setiap 4 jam dan nafas dalam setiap ½ jam. d). Libatkan dalam pembuatan rencana perawatan dan berikan dorongan untuk melakukan perawatan diri. e). Tingkatkan sosialisasi. f). Pantau terhadap tanda trombosis vena, tanda Homan’s dan edema. g). Lakukan perawatan kulit. h). Berikan lingkungan yang nyaman. i). Berikan dorongan dan dukungan untuk setiap pencapaian yang dilakukan pasien. 2. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan kemajuan invasi bakteri. Tujuan : Infeksi tidak terjadi Kriteria hasil : a). Menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil. b). Luka insisi sembuh tanpa menunjukkan adanya bukti- bukti terjadinya infeksi. Perencanaan : a). Lakukan pemeriksaan kultur darah dan pus kultur serta pantau hasilnya. b). Pertahankan cairan parenteral dengn antibiotik. c). Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam. d). Pasang kompres hangat dan basah bergantian e). Kolaborasi untuk eksisi dan drainase bila terdapat lesi terinfeksi. f). Pantau haluaran dan masukan. g). Pantau insisi terhadap perdarahan. h). Ganti balutan ; pertahankan tekhnik aseptik. i). Berikan diet tinggi protein tinggi kalori sesuai toleransi. 3. Nyeri berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang. Kriteria hasil : a). Melaporkan bahwa tingkat nyerinya dapat ditoleransi. b). Waktu istirahat dan aktifitas seimbang. c). Menunjukkan lebih nyaman dan rileks. Perencanaan : a). Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri. b). Berikan analgesik sesuai indikasi ; kaji efektifitas tindakan penurun rasa nyeri. c). Bantu pasien dalam mengganti posisi dengan sering ; berikan penyangga pada bagian ekstremitas yang terkena ; lakukan gosok punggung. d). Berikan aktifitas hiburan. e). Diskusikan dan tingkatkan tindakan penurun rasa nyeri alternatif. 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan di rumah. Tujuan : Pengetahuan meningkat Kriteria hasil : a). Memperlihatkan kemampuan untuk melakukan perawatan luka. b). Mengungkapkan pengertian mengenai proses penyakit, kemungkinan komplikasi dan program rehabilitasi. c). Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan. Perencanaan : a). Berikan dan bicarakan informasi tentang program rehabilitasi yang disarankan : instruksi terapi fisik dan perawatan di rumah. b). Peragakan perawatan luka insisi dan tekankan pentingnya tekhnik aseptik dan mandi pancuran sehari-hari. c). Berikan informasi tentang proses penyakit dan komplikasi. d). Diskusikan tentang tanda dan gejala untuk dilaporkan pada dokter : nyeri tekan, nyeri, rasa tidak nyaman, demam, malaise, haluaran dari insisi. e). Berikan obat-obatan sesuai jadwal, termasuk nama, dosis dan efek samping ; instruksikan pasien untuk minum semua obat yang diresepkan. f). Tekankan pentingnya diet yang bergizi dan memperbanyak masukan cairan. g). Tingkatkan kunjungan ke dokter teratur. G. Pelaksanaan Pelaksanaan menurut Potter (2005), merupakan tindakan mandiri berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan keperawatan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi. Dalam pelaksanaan tindakan, langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan, semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan. H. Evaluasi Evaluasi menurut Hidayat (2007), merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip obyektifitas, reabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan ada dua arah yaitu evaluasi proses (evaluasi formatif) dan evaluasi hasil (evaluasi sumatif). Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan dan dilakukan pada akhir keperawatan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Alat-alat reprofroduksi wanita yaitu: GENETALIA EKSTERNA a)Mons Veneris Berfungsi untuk melindungi alat genetalia dari masuknya kotoran selain itu untuk estetika b)Labia Mayora Berfungsi untuk menutupi orga-organ genetalia di dalamnya dan mengeluarkan cairan pelumas pada saat menerima rangsangan seksual. c)Labia Minora Berfungsi untuk menutupi orga-organ genetalia di dalamnya serta merupakan daerah erotik yang mengandung pambuluh darah dan syaraf. d)Klitoris Merupakan daerah erotik utama pada wanita yang akan membesar dan mengeras apabila mendapatkan rangsangan seksual. e)Vestibulum Berfungsi untuk mengeluarkan cairan apabila ada rangsangan seksual yang berguna untuk melumasi vagina pada saat bersenggama. f)Hymen Merupakan lapisan tipis yang menutupi sebagian besar dari introitus vagina, membentuk lubang sebesar ibu jari sehingga darah haid maupun sekret dan cairan dari genetalia interrnal dapat mengalir keluar GENETALIA INTERNA a)Vagina Berfungsi sebagai : Saluran keluar untuk mengeluarkan darah waktu haid dan sekret dari dalam uterus Alat untuk bersenggama Jalan lahir bayi waktu melahirkan b)Uterus Berfungsi sebagai: Tempat bersarangnya atau tumbuhnya janin di dalam rahim pada saat hamil. Memberi makanan pada janin melalui plasenta yang melekat pada dinding rahim. c)Tuba Fallopi Berfungsi sebagai saluran yang membawa ovum yang dilepaskan ovarium ke dalam uterus. d)Ovarium Berfungsi memproduksi ovum e)Ligamentum Berfungsi untuk mengikat atau menahan organ-organ reproduksi wanita agar terfiksasi dengan baik pada tempatnya, tidak bergerak dan berhubungan dengan organ sekitarnya. ALAT REPRODUKSI PRIA DAN FUNGSINYA. Alat-alat reprofroduksi pria yaitu: GENETALIA EKSTERNA a)Penis Berfungsi untuk menyalurkan dan menyemprotkan sperma saat ejakulasi b) Skrotum berfungsi untuk melindungi testis dari taruma atau suhu GENETALIA INTERNA a)Testis Berfungsi sebagai : Memproduksi sperma Tempat memproduksi testosteron yang memegang peranan penting untuk sifat kelamin sekunder dan kejantanan b)epididimis Berfungsi sebagai: menghubungkan testis dengan saluran vas deferens memproduksi cairan yang banyak mengandung enzym dan gizi yang fungsinya mematangkan / menyempurnakan bentuk sperma c)vans deferens Berfungsi untuk menyalurkan sperma dari epididimis ke vesika seminalis Tempat menyimpan sebagian dari sperma sebelum dikeluarkan . d)Vesika seminalis Berfungsi sebagai: Tempat untuk mengeluarkan cairan yang sifatnya alkalis atau sedikit basa yang mengandung fruktosa dan zat gizi yang merupakan sumber energi bagi spermatozoa dan agar sperma lebih segar, kuat dan mudah bergerak dalam mencapai ovum Sebagai tempat penyimpanan spermatozoa sebelum dikeluarkan melalui kegiatan seksual. e)Kelenjar prostat Berfungsi sebagai: Mengeluarkan cairan yang bersifat alkalis yang encer berwarna seperti susu mengandung asam sitrat, kalsium dan beberapa zat lain f) kelenjar bulbo uretralis berfungsi mengsekre3si cairan yang membantu agar sperma lebih tahan hidup dan lebih memungkinkan untuk bergerak dan memudahkan pembuahan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Askep Appendisitis

Pengertian Appendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal ( Brunner dan Sudarth, 2002 hal 1097 ). Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. (Arif Mansjoer ddk 2000 hal 307 ). Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001). Etiologi Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. (Irga, 2007) Klasifikasi Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni : 1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah. 1. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua. Manifestasi Klinik • Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan • Mual, muntah • Anoreksia, malaise • Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney • Spasme otot • Konstipasi, diare (Brunner & Suddart, 1997) KOMPLIKASI Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks Tromboflebitis supuratif Abses subfrenikus Obstruksi intestinal PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Sel darah putih : lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat sampai 75% Urinalisis : normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada Foto abdomen: Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus terlokalisir Tanda rovsing (+) : dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi. Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma (Doenges, 1993; Brunner & Suddart, 1997) PENATALAKSANAAN Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Konsep Asuhan Keperawatan Sebelum operasi dilakukan klien perlu dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberikan latihan- latihan fisik (pernafasan dalam, gerakan kaki dan duduk) untuk digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan anastesi. (Brunner & Suddart, 1997) ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian A. Anamnesa 1. Data demografi. Nama, Umur : sering terjadi pada usia tertentu dengan range 20-30 tahun, Jenis kelamin, Status perkawinan, Agama, Suku/bangsa, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, Alamat, Nomor register. 1. Keluhan utama. Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus. Keluhan yang menyertai antara lain rasa mual dan muntah, panas. 1. Riwayat penyakit sekarang Keluhan yang dirasakan oleh pasien mulai pertama / saat dirumah sampai MRS / opname. 1. Riwayat penyakit dahulu. Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang. B. Pemeriksaan Fisik. B1 (Breathing) : Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal. B2 (Blood) : Sirkulasi : Klien mungkin takikardia. B3 (Brain) : Ada perasaan takut. Penampilan yang tidak tenang. Data psikologis Klien nampak gelisah. B4 (Bladder) : - B5 (Bowel) : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. Nyeri/kenyamanan nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney. Berat badan sebagai indikator untuk menentukan pemberian obat. Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi Konstipasi pada awitan awal dan kadang-kadang terjadi diare B6 (Bone) : Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak. C. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal oleh inflamasi. 2. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh. 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. 4. Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan keadaan nyeri yang mengakibatkan terjadinya penurunan pergerakan akibat nyeri akut. 5. Resiko berkurangnya volume cairan berhubungan dengan adanya mual dan muntah. 6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan 7. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi. D. Intervensi dan Rasional 1. Nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal oleh inflamasi. Tujuan: setelah dilakukan askep selama 1 x 24 jam dirassakan pasien melaporkan rasa nyeri berkurang atau hilang dengan Kriteria hasil : Pasien tampak rileks mampu tidur/ istirahat dengan tepat. Intervensi dan rasional 1. Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri Rasional : informasi yang tepat dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien dan menambah pengetahuan pasien tentang nyeri. 1. Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri. Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya. 1. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragmatik lambat / napas dalam Rasional : napas dalam dapat menghirup O 2 secara adequate sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. 1. Berikan aktivitas hiburan (ngobrol dengan anggota keluarga) Rasional : meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan kooping. 1. Berikan kompres dingin pada abdomen Rasional : Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. 1. Observasi tanda-tanda vital Rasional : deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien. 1. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik Rasional : sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri. 1. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh. Tujuan : setelah dilakukan askep selama 2 x 24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi dengan criteria hasil : bebas tanda infeksi atau inflamasi, ttv dalam rentang normal Intervensi dan Rasional 1. Jelaskan pada pasien tentang proses terjadinya infeksi dan tanda-tanda terjadinya infeksi. Rasional : dengan pemahaman klien, maka klien dapat bekerja sama dalam pelaksanaan tindakan. 1. Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-prinsip pencukuran. Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme. 1. Beri obat pencahar sehari sebelum operasi Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga BAB dapat lancar. 1. Observasi tanda-tanda vital terhadap peningkatan suhu tubuh, nadi, adanya pernapasan cepat dan dangkal. Rasional : deteksi dini terhadap perkembangan kondisi pasien dan adanya tanda-tanda infeksi. 1. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik Rasional : Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis dan Menurunkan resiko penyebaran bakteri. 1. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun, mual dan muntah. Tujuan : setelah dilakukan askep selama 3 x 24 jam diharapkan pasien dapat mempertahankan BB normal atau tetap dengan kriteria hasil : nafsu makan meningkat, pasien bisa menghabiskan diit yang diberikan, BB konstan atau bertambah. Intervensi dan Rasional 1. Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi. 1. Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan mempengaruhi masukan. 1. Timbang berat badan sesuai indikasi Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet. 1. Beri makan sedikit tapi sering Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan. 1. Anjurkan kebersihan oral sebelum makan Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan 1. Tawarkan minum saat makan bila toleran. Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas. 1. Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres. Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan. 2. Kolaborasi dengan tim gizi dalam memberi makanan yang bervariasi Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien. 1. Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan keadaan nyeri yang mengakibatkan terjadinya penurunan pergerakan akibat nyeri akut. 2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan tubuh b.d muntah, inflamasi peritoneum dengan cairan asing, muntah praoperasi, pembatasan pasca operasi Tujuan : setelah dilakukan askep selama 2 x24 jam diharapkan tidak terjadi kekurangan cairan dengan Kriteria hasil;Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik, Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam, Tanda vital stabil Intervensi: 1. Awasi tekanan darah dan tanda vial 2. Kaji turgor kulit, membran mukosa, capilary refill 3. Monitor masukan dan haluaran . Catat warna urin/konsentrasi 4. Auskultasi bising usus. Catat kelancara flatus 5. Berikan perawatan mulut sering 6. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral dimulai dan lanjutkan dengan diet sesuai toleransi 7. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan cairan IV dan Elektrolit. 1. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan Tujuan : setelah dilakukan askep selama 2 x 24 jam diharapkan klien dan keluarga mampu merawat diri sendiri Intervensi dan Rasional 1. Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien. Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan. 1. Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih. Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman 1. Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri. Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene. 1. Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya. Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan 1. Bimbing keluarga klien memandikan / menyeka pasien Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan 1. Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien. Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi. 1. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi. Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 1 x 24 jam diharapkan pasien dapat mengerti tentang kondisi yang dihadapi saat ini dengan kriteria hasil : Menyatakan pemahamannya tentang proese penyakit, pengobatan, Berpartisipasi dalam program pengobatan, Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya. Intervensi dan Rasional 1. Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi. Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh. 2. Kaji ulang pembatasan aktivitas paska operasi 3. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodik 4. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh peningkatan nyeri, edema/eritema luka, adanya drainase. 5. Menganjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi. Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan. 1. Disukusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan penyembuhan latihan. Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses penyembuhan. Daftar Pustaka Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. Henderson, M.A. (1992), Ilmu Bedah Perawat, Yayasan Mesentha Medica, Jakarta. Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI Price, SA. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama. Edisi 4. Jakarta. EGC Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Smeltzer, Bare (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELLITUS

I. KONSEP MEDIS A. Pengertian Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002). Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002). B. Klasifikasi Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut : 1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) 2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM) 3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya 4. Diabetes mellitus gestasional (GDM) C. Etiologi 1. Diabetes tipe I: a. Faktor genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA. b. Faktor-faktor imunologi Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen. c. Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta. 2. Diabetes Tipe II Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko : a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th) b. Obesitas c. Riwayat keluarga D. Tanda dan Gejala Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah : 1. Katarak 2. Glaukoma 3. Retinopati 4. Gatal seluruh badan 5. Pruritus Vulvae 6. Infeksi bakteri kulit 7. Infeksi jamur di kulit 8. Dermatopati 9. Neuropati perifer 10. Neuropati viseral 11. Amiotropi 12. Ulkus Neurotropik 13. Penyakit ginjal 14. Penyakit pembuluh darah perifer 15. Penyakit koroner 16. Penyakit pembuluh darah otak 17. Hipertensi Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut. Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak. Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas. E. Pemeriksaan Penunjang 1. Glukosa darah sewaktu 2. Kadar glukosa darah puasa 3. Tes toleransi glukosa Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu - Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa - Plasma vena - Darah kapiler < 100 <80 <110 <90 100-200 80-200 110-120 90-110 >200 >200 >126 >110 Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan : 1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L) 3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl F. Penatalaksanaan Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes : 1. Diet 2. Latihan 3. Pemantauan 4. Terapi (jika diperlukan) 5. Pendidikan II. KONSEP KEPERAWATAN 1. Pengkajian § Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ? § Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya. § Aktivitas/ Istirahat : Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun. § Sirkulasi Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah § Integritas Ego Stress, ansietas § Eliminasi Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare § Makanan / Cairan Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik. § Neurosensori Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan. § Nyeri / Kenyamanan Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat) § Pernapasan Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak) § Keamanan Kulit kering, gatal, ulkus kulit. 2. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. 3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer). 4. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolic, perubahan kimia darah ; insufisiensi insulin,peningkatan kebutuhan energy ; status hipermetabolik/infeksi. 5. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan 3. Intervensi 1. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak. Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi Kriteria Hasil : § Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat § Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya Intervensi : § Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi. § Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien. § Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi. § Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya via oral. § Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi. § Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala. § Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah. § Kolaborasi pemberian pengobatan insulin. § Kolaborasi dengan ahli diet. 2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi Kriteria Hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal. Intervensi : § Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik R : Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat ringannya hipovolemia dapat dibuat ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebih dari 10 mmHg dari posisi berbaring keposisi duduk/berdiri. Catatan ; Neuropati jantung dapat memutuskan reflex-refleks yang secara normal meningkatkan denyut jantung. § Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul R : Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratorius terhadap keadaan ketoasidosis. § Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas R : Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan menyebabkan pola dan frekuensi pernapasan mendekati normal. § Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa R : Merupakan indicator dari tingkat dehidrasi, volume sirkulasi yang adekuat. § Pantau masukan dan pengeluaran R : Memberikan perkiraan kebutuhan cairan pengganti fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan. § Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung R : Mempertahankan hidrasi / volume sirkulasi § Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung. R : Kekurangan cairan dan elektrolit mengubah motilitas lambung, yang seringkali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan atau elektrolit. § Obs kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur R : Pemberian cairan untuk perbaikan yang cepatm mungkin sangat berpotensi menimbulkan kelebihan beban cairan dan GJK. § Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K) 3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer). Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan. Kriteria Hasil : Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi Intervensi : § Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut. § Kaji tanda vital § Kaji adanya nyeri § Lakukan perawatan luka § Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi. § Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. 4. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolic, perubahan kimia darah ; insufisiensi insulin,peningkatan kebutuhan energy ; status hipermetabolik/infeksi. Tujuan : Pasien tidak kelelahan. Kriteria Hasil : Mengungkapkan peningkatan tingkat energy, menunjukan perbaikan kemampuan untuk berpartisispasi dalam aktivitas yang diinginkan. Intervensi : § Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. R : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah. § Berikan aktivitas alternative dengan periode istirahat yang cukup/tanpa diganggu. R : Mencegah kelelahan yang berlebihan § Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum/ sesudah melakukan aktivitas R : Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis. § Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya. R : Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energy pada setiap kegiatan. § Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi. R : Meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi paisen. 5. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan Tujuan : pasien tidak mengalami injury Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury Intervensi : § Hindarkan lantai yang licin. § Gunakan bed yang rendah. § Orientasikan klien dengan ruangan. § Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari § Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi 4. Implementasi Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya : Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien. 5. Evaluasi Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989). Evaluasi pada klien dengan DM yaitu : 1) Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi 2) Kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi 3) Gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan. 4) Pasien tidak kelelahan. 5) Pasien tidak mengalami injury DAFTAR PUSTAKA Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997. Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999. Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002. Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga , Jakarta : FKUI, 1996. Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu .Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS